Minggu, 03 Maret 2013

MENANTI SENJA


Merasakan kedinginan menyelimuti kulitku sama seperti hatiku yang sudah membeku. Dasar bajingan, kamu pikir kamu itu siapa? Aku lelah menunggu tapi hatiku tak mau kalau bukan kamu. Sialan, coba saja hati ini sama warasnya dengan pikiranku.
Aku sakit dengan rasa rindu yang terus memuncak. Aku ingin bersama kamu. Ingin memeluk, mencium hingga tertawa bersama kamu lagi. Tapi sial dengan takdir. Kenapa kamu harus pergi? Meninggalkan semua kenangan yang tak bisa aku hapus. Aku tak boleh lemah, aku kuat. Tapi kenapa setiap aku mengingatmu membuatku lemah. Aku tak suka. Benar-benar tak suka. Seperti saat aku benci meminum obat padahal obat merupakan pengobat saat aku sakit. Yah, seperti itu. Aku tak bisa memilih pilihan yang lain.
Senja kembali mengiringi ratapan piluku. Ahh, senja yang indah tapi tak seindah hatiku kini. Aku ingat, kamu sangat menyukai senja, seperti kisah kita. Di mulai ketika senja datang dan berakhir ketika senja mulai memudar. Tapi sekali lagi, aku selalu melihat senja datang. Berharap kamu akan datang kembali.
Senja, selalu datang di esok hari, tapi tidak denganmu. Pada tiap gurat jingga yang senja paparkan padaku, tak kudapati senyum maupun sapa mesra darimu. Atau sekadar lintas tatap matamu.

foto by @Sweetdhee12
Seperti kala itu, aku menanti senja di titik nol kota Jogja. Yang tengah ramai dengan dengung Sekaten dalam antusiasme rakyatnya. Sesekali aku pergoki muda-mudi yang hilir mudik, mesra. Ah, harap agar kamu datang dan menanti senja bersamaku kali ini langsung membumbung tinggi. Tempat dimana cinta berpesta pora bagiakan sarang bagimu, yang selalu menarik untuk mendekat dan kembali.
Hingga senja pamit lalu bulan menempati tahtanya, kamu tak datang. Layaknya tugu kecil tempatku bersandar, aku kembali ke titik nol penantian.
Ahhh, aku ingat ketika kamu mengajakku berburu senja. Kamu menculikku ketika aku pulang kerja. Ketika itu kamu menginginkan melihat senja di pantai kuta, Bali. Lucunya, kau sudah siap dengan segala berlengkapan menginap sedangkan aku hanya membawa tas kerjaku.
Kau bersikeras bahwa saat itu kita harus pergi ke Bali. Menikmati senja yang indah. Tanpa banyak kalimat, kau lagi-lagi berhasil menculikku dan lagi-lagi aku harus membeli pakaian. Semenjak saat itu, aku selalu menyiapkan pakaian di dalam tas tanganku. Karena aku ingin menemanimu memburu senja.
Tetapi senja yang mempunyai kenangan adalah senja di pantai Lovina. Kita menanti senja di sebuah sampan di tengah laut. Penantian itu tak sia-sia karena senja begitu indah. Sinarnya kekuningan bercampur merah dan oranye. Langit seakan tersenyum menampilkan warna warna ungu. Iya, ungu warna kesukaanku. Seketika itu kau mengabadikannya melalui kamera Canonmu. Bukan hanya senja itu yang kau foto tetapi aku. Dengan latar senja.
Setiap kali aku bertanya kenapa kau memfotoku berlatarkan senja. Kau akan selalu menjawab karena aku adalah senja yang termanis dalam hidupmu.
Hey, kamu.
Kemana saja kah senja kau buru setelah meninggalkanku? Untuk membuktikan pada dirimu sendiri, bahwa memang tak ada senja yang lebih manis dariku.
Tanpa sadar, aku pun tertular memburunya. Untuk meyakinkan diriku sendiri, bahwa kau tak mungkin temukan senja yang lebih manis dariku. Maka tas ku masih selalu berisi pakaian. Untuk berjaga jika tiba-tiba ada senja yang memanggilku untuk dinikmati.
Nyaris putus asa, aku kembali ke Lovina. Karena senja demi senja aku temui, makin cantik ia semburatkan cakrawala. Makin manis ia menoleh pada rembulan untuk menggantikannya. Dan melihat senja Lovina lagi, bagaikan sebuah manifest untukku. Terus memburu senja dan kamu? Atau mencukupkan diri lalu lelap tenggelam pada redupnya bulan.
Ah, Lovina lagi.
Sekali lagi aku menyingahi pantai ini. Yah, pantai Lovina. Pantai perburuan awal dan akhir kita. Dulu, kita terombang – ambing di sebuah perahu sanpan hanya menanti senja itu hadir. Saat ini, aku menanti senja itu di bibir pantai. Kau pasti tertawa mengetahui bahwa aku ingin sekali menaiki perahu itu lagi, bukan sendiri tapi bersamamu.
Kau tahu bahwa aku tak bisa menaiki perahu itu sendiri. Trauma masa laluku yang tak memungkinkan aku untuk pergi sendiri. Hanya bersamamu aku berani. Seperti biasa kau membawaku ketika menaiki perahu itu. Mengenggam eratku, tersenyum seraya berunjar “Kau akan baik-baik saja karena ada aku”
Aku kangen dan merinduimu. Air mata ini tak pernah bisa bertahan cukup lama ketika menginggatmu. Kenangan, penantianku, semua yang aku rasakan tak pernah bisa bertahan. Aku harap kau datang menjemputku atau menculikku kembali. Aku tidak akan protes.
Senja, aku berharap kau tetap bertahan beberapa lama lagi. Biar aku bisa menanti cinta itu datang. Tanganku ini tak menggengam tanganmu tetapi dada ini yang begitu merindumu.
“Seperti biasa, kau selalu mudah ditemukan. Aku tak mengetahui bahwa kau menyukai senja padahal dulu kau selalu mengeluh”. Sebuah suara dibelakangku. Tersentak, kaget dan tenang. Tanpa kalimat yang sudah berada dikepalaku tapi tak bisa aku ucapkan. Aku memeluknya dengan erat.
Terima kasih senja :)
***

My partner kak didieth @Sweetdhee12 http://dheepoenya.wordpress.com

Jumat, 01 Maret 2013

Aku, Kamu dan Keheningan

Hmmm, curhat dulu,ya.
Gak pernah sama sekali nulis cerpen apalagi kaloborasi tapi semenjak liat kaloborasi kak wulan , kak didieth dan mas ijul. jadi kepengin. akhirnya, bilang dong sama empu punya acara. katanya dia mau jadi teman pertama gue berkaloborasi.

Senang banget, serius gak pernah gue sesenang ini dan ada rasa malu karena. Heii, biasanya delisa tukang protes sekarang malah bikin cerpen. Hahaha.

Dan inilah ceritaku bersama si kakak cantik dan partner kedua teman siaran gue kak @wulanparker.

Lagi-lagi hujan kembali turun membahasi bumi ini. Dan lagi-lagi pula hujan itu turun ketika aku duduk termenung di dalam kafe ini. Kafe langananku ketika aku butuh menyendiri.


Lagu-lagu mancanegara yang populer merebak menyusupi teling-telinga yang tenang. Termasuk milikku. Aku memaku tatapanku pada sebuah novel kesayangan yang saat ini ada bersamaku. Sesekali aku meenyesap capucino hangat yang sudah aku pesan terlebih dahulu.


Tak banyak aku lakukan di tempat ini. Namun, sekian rasa bergantian menyusupi. Ada senyum-senyum kecil yang tiba-tiba menyimpul ketika sesaat aku menoleh dan mendapati banyak laku orang-orang di hadapku. Entah mengapa semua terasa mengasyikkan dan ada sesuatu yang mendorongku untuk merasakan nikmat.


Rasa nikmat ini membuatku tersenyum. Ahh, andai saja ada seseorang disampingku saat ini. Lucu rasanya melihat mereka yang saat ini menyesap berbagai macam makanan dan minuman di kafe ini selalu hadir berpasangan. 


Apakah hari ini valentine? Dan aku pun menyadari dekorasi kafe ini berubah. Rasaku di atas meja ini tidak pernah ada vas bunga kecil dan ornamen - ornamen berbentuk hati berwarna pink tersebar di bawah langit kafe. Sepertinya, aku salah datang pada malam hari ini.


Aku melihat ke kaca yang mengelilingi ruangan di kafe ini. Ia basah oleh titik-titik hujan yang jatuh dari atap bangunannya. Namun aku selalu menyukai itu. Dingin yang tak terlalu dingin, sepi yang tak begitu sunyi. Namun aku merasa ada tenang yang memeluki aku.


Lalu bagaimana kabar ingatan? Iya... tentu saja. Itulah tadi yang kukatakan aku berandai-andai adanya ia di sisiku. Namun, apa boleh buat, negeri kincir angin tengah memenjarainya hingga suatu waktu nanti. Katanya, aku tak boleh merasa sepi, ia akan tetap ada di dalam hati. Aku tetap bisa memiliki ia.

Aku mengulas senyum, membayangkan ia yang tengah memperjuangkan impiannya. Ia benar, aku tak boleh merasa sepi, tak boleh takut sendiri.


Kadang kala aku butuh keheningan saat bersamanya. Rasa itu berbeda. Hanya duduk bersebelahan dengan pria itu membuat kedamaian dan nyaman yang berbeda. Ya, dia sosok yang berbeda. 


Tanpa kata atau kalimat dari bibir kami. Hening yang menyelimuti, duduk bersebelahan dan dengan kegiatan yang berbeda. Aku membaca novel kesukaanku dan dia menyelesaikan desain sebuah gedung bertingkat. 

Aku tahu tangan itu sangat terampil dalam menggambar. Ah, memori yang berkelebat dibayanganku membuatku merindu. Rindu akan aktivitas kebiasaan kami. Tak seperti pasangan kebanyakkan. Setiap kali bertemu aku dan dia hanya tersenyum, berpelukkan dan dia mencium keningku. Kemudian kami bercakap-cakap hingga aku duduk membaca dan dia menyelesaikan pekerjaannya. 


Barra, pria yang tak banyak bicara. Tapi sungguh semua yang ia lakukan, aku rasakan penuh cinta. Ia tak pernah main-main denganku. Bahkan malam itu, saat ia memilihku menjadi labuhan hati yang terakhir untuknya. Tak ada cincin atau pun bunga untuk menemani ungkapannya. 


Ia memutar lagu dari ipod miliknya, lalu membagi headset kepadaku. Diantara jeda lagu aku mendengarkan suara miliknya. Mengungkapkan semua perasaannya padaku. Air mata pun tak bisa kubendung lagi. Semuanya meleleh seketika. Hingga semua suara hilang. lalu, kami pun berada dalam hening yang cukup syahdu.

Deburan ombak menjadi saksi malam itu. Punggung kami saling bersandar. Saling merasakan gemetar tubuh yang kian menjalar. 


Aku tersenyum simpul ketika menginggat keheningan yang lain. Ketika itu, aku dan dia duduk bersebelahan kembali. Tidak ada novel yang ku baca dan dia pun tak menggambar. Kami duduk di sebuah sofa panjang menghadap Tv LED yang besar. 


Aku ingat, ketika itu kami menonton sebuah serial drama korea tentang seorang wanita buta dan pria tampan. Ketika bagian yang paling sedih, aku tak kuat menahan rasa sedihku. Dia hanya mengelus lenganku kemudian memberikan beberapa lembar tisu. Tanpa kata apa pun dari bibirnya aku tahu dia mencemaskanku.

Di antara air mata bumi yang sedang berjatuhan ini, di antara keheninganku. Sesosok pria datang ketempatku, lagi-lagi tanpa kata. Dia hanya tersenyum, pancaran sinar matanya membuatku merasakan kedamaian itu kembali. Senyumku pun bertambah lebar. 

Yah, Barra seorang pria yang aku cintai tanpa syarat apa pun dan dia pun mencintaiku apa adanya. Sedang menatapku. Tak ada kata atau kalimat. Aku tahu dia mencintaiku hanya melihat melalui matanya dan keheningan ini.